Teripang pasir mungkin nama yang terdengar agak asing di telinga masyarakat awam. Pamornya tidak “sebeken” komoditas perikanan lain, seperti ikan lele. Namun siapa sangka ternyata komoditas ini memiliki kandungan gizi dan nilai ekonomis yang tinggi. Sayangnya, akibat mengandalkan penangkapan di alam, teripang pasir bisa terancam punah. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), melalui Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM), punya solusinya.
Teripang merupakan biota laut yang termasuk ke dalam filum Echinodermata. Dikenal juga dengan istilah timun laut, sea cucumber, dan bêche-de-mer. Teripang sejak lama telah dimanfaatkan oleh masyarakat Asia sebagai makanan dan obat tradisional karena memiliki kadar protein yang tinggi tanpa lemak, mengandung vitamin E yang dapat berperan sebagai antioksidan, serta mengandung mineral yang sangat penting dalam jumlah yang tinggi, terutama kalsium dan magnesium. Teripang pasir juga mengandung omega-3, omega-6, omega-9, dan 16 jenis asam amino.
Karena itu usaha perbenihan dan budidaya teripang pasir perlu dilakukan sebagai salah satu komoditas di bidang akuakultur. Terlebih lagi, sejalan dengan perkembangan teknologi, berbagai bahan bioaktif dari teripang semakin banyak diketahui, baik sebagai sumber senyawa bioaktif farmakologis maupun dalam bidang kosmetika.
Sampai saat ini, teripang yang diperdagangkan masih mengandalkan hasil tangkapan alam sedangkan hasil budidaya masih sangat terbatas. Dalam dua dekade terakhir, kesulitan memperoleh teripang dari alam juga terjadi di Indonesia akibat penangkapan teripang yang berlebihan. Cepat atau lambat kepunahan spesies ini semakin terbuka, jika usaha budidaya tidak berhasil dilakukan.
Mata rantai utama dalam sistem produksi teripang adalah penyediaan benih. Melalui serangkaian penelitian, Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan (BBRBLPP) Gondol-Bali, salah satu Unit Pelaksana Teknis BRSDM, telah berhasil mengembangkan teknologi perbenihan teripang pasir (holothuria scabra) di hatcheri. Selanjutnya benih tersebut dibudidayakan di bak beton, di tambak dengan menggunakan hapa, dan di laut dengan menggunakan kurung tancap.
Keberhasilan BBRBLPP dalam melakukan budidaya teripang pasir membuka peluang perkembangan usaha budidaya teripang di masyarakat terlebih bahwa teripang pasir hasil budidaya terbukti memiliki kandungan nutrisi yang sama dengan yang berasal dari alam.
Pada kunjungan kerja Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono ke BBRBLPP, pekan lalu, lokasi penelitian budidaya teripang pasir ini merupakan salah satu tempat yang mendapat perhatiannya. Ia berharap, hasil penelitian dari balai riset, termasuk teripang pasir, dapat diimplementasikan di masyarakat untuk menggerakan roda perekonomian guna kesejahteraan masyarakat.
Kepala BRSDM Sjarief Widjaja mengatakan, pihaknya akan menindaklanjuti arahan Menteri tersebut. Sjarief berencana akan membuat instalasi-instalasi kecil di balai riset. Ia juga sudah berkomunikasi dengan Gubernur Bali I Wayan Koster dan selanjutnya Gubernur akan menetapkan sentra-sentra perikanan, termasuk teripang pasir, di Bali.
Sementara itu, teknologi pembenihan dan budidaya teripang pasir ini juga dibahas khusus pada kegiatan Sharing Session BRSDM, Rabu (27/1). Bertindak sebagai narasumbernya adalah peneliti utama BBRBLPP Sari Budi Moria Sembiring.
Sari memaparkan data Badan Pusat Statistik (2019), bahwa volume ekspor produk teripang Indonesia pada Januari hingga Juli 2019 mencapai 780.803 kg, dengan nilai mencapai US$ 8.762.309. Menurutnya, dengan nilai ekonomi dan kebutuhan pasar yang tinggi, khususnya pasar Asia, maka terjadi overfishing, sehingga perlu pengembangan budidaya, sebagaimana dilakukan penelitiannya di BBRBLPP.
Bagi masyarakat yang ingin mengetahui langkah-langkah dari teknologi pembenihan dan budidaya teripang pasir ini secara lebih detil dapat menyaksikannya di channel Youtube BRSDM TV pada link https://www.youtube.com/watch?v=o5GO0iBfNik dan mengunduh materinya pada link https://bit.ly/3ofGf6M.
Humas BRSDM
Post a Comment